Selasa, 15 April 2014

TUGAS 2 PENEJEMAHAN BERBANTUAN KOMPUTER

TUGAS 2

Name : Ayu Septiani
Npm  : 19610233
Class : 4SA01


Source text
Google
Correction
Drawn to the Sea, to Tradition, to Danger : Indonesia: Life in a remote village revolves around whaling, which is still legal there. Little has changed in 500 years, but tourists and technology are creeping in.

August 29, 1999|JEFFREY GETTLEMAN | TIMES STAFF WRITER
·          
LAMALERA, Indonesia — Across the blinding seas the wooden boat lumbered, its crew of old fishermen shriveled like beef jerky from decades of sun and work.


Today, like all other days, these men were hunting whales--in the same way their ancestors did 500 years ago.

With paddles chopped from the trunks of palm trees and faces scrunched from squinting, the fishermen stroked across the water, scanning for signs of life. After hours of searching, one sinewy fisherman, Francis Bole Beding, saw a black fin pop through the surface.http://articles.latimes.com/images/pixel.gif

"Di sana! Di sana!" Beding yelled, shaking his fingers at the sea. "Over there! Over there!"
Paddlers yanked on their oars. Beding, a harpooner, scampered to the bow, a crude spear in his hands. He coiled himself, preparing to leap down onto the prey and drive his harpoon deep into its flesh.

Focusing on Prey, Not Politics
In this remote Indonesian village, life revolves around the pursuit of big game. One of the last places on Earth where international law still allows people to hunt whales for food, Lamalera is so steeped in its whaling traditions that it has escaped the tumult sweeping through Indonesia as the country caps its yearlong transition from authoritarian rule to multi-party democracy.


Even Indonesia's first free elections, won by opposition parties, created little stir. To people here, who rules the country has little bearing on what comes out of the sea.


But the long era of isolation may be coming to an end, even for this village perched above a frothy cove. Like many other places in the developing world, Lamalera faces the encroachment of technology, commerce and change.

For centuries, villagers used whale blubber as currency. Many didn't even know what money looked like. Now there's cash at the market, confusing some of the older women who can't read numbers.

Lamalera also has been discovered by aid workers, anthropologists and tourists. Some fishermen have hung up their harpoons to open small guest houses. Others want to leave.

"It used to be that everyone would want to follow whales," said Peter Kroya, a 25-year-old laborer with the only ponytail in the village. "But not me. I want to live in the city."
Lamalera and its 2,000 people are about as far from a city as you can get. There are no cars, roads, phones, electricity or TV. Located at the tip of Lembata Island, 1,000 miles east of Jakarta, Indonesia's capital, Lamalera is one of those time-capsule places left to its own gracious rhythms.


At dawn on a recent day, the crunch of heavy wooden boats scraping through the sand cut the moist tropical air. Five to a side, fishermen sank their shoulders under the gunwales and drove the 30-foot boats down the beach like bobsleds. Some wives, mindful not to openly express too much affection, squeezed their husbands' hands before they paddled away.

Ditarik ke Laut, Tradisi, ke Bahaya: Indonesia: Hidup di sebuah desa terpencil berkisar perburuan paus, yang masih legal di sana. Sedikit telah berubah dalam 500 tahun, tapi wisatawan dan teknologi yang merayap masuk.
29 Agustus 1999 |JEFERY GENTLEMAN | STAFF PENULIS TIMES

LAMALERA , Indonesia - seberang laut menyilaukan perahu kayu terhuyung-huyung , awak nelayan tua keriput seperti dendeng dari dekade matahari dan bekerja .



Hari ini, seperti semua hari-hari lain , orang-orang ini sedang berburu paus - dengan cara yang sama nenek moyang mereka lakukan 500 tahun yang lalu .

Dengan dayung cincang dari batang-batang pohon kelapa dan wajah mengernyitkan dari menyipitkan mata , para nelayan membelai melintasi air , pemindaian tanda-tanda kehidupan . Setelah berjam-jam mencari, seorang nelayan berotot , Francis Bole Beding , melihat pop sirip hitam melalui permukaan .
" Di sana ! Di sana ! " Beding berteriak , gemetar jari-jarinya di laut . "Di sana ! Disana! "

Paddlers menyentakkan dayung mereka . Beding , harpooner a , berlari ke haluan , tombak mentah di tangannya . Dia bergelung , bersiap untuk melompat turun ke mangsa dan drive harpun dalam-dalam ke dagingnya .

Berfokus pada Prey , Bukan Politik
Di desa ini terpencil Indonesia , kehidupan berkisar mengejar pertandingan besar . Salah satu tempat terakhir di bumi di mana hukum internasional masih memungkinkan orang untuk berburu paus untuk makanan , Lamalera begitu mendalami tradisi penangkapan ikan paus yang yang telah lolos kekacauan menyapu Indonesia sebagai negara caps transisi selama setahun dari pemerintahan otoriter ke multi partai demokrasi .

Bahkan pemilihan bebas pertama di Indonesia , dimenangkan oleh partai-partai oposisi , menciptakan sedikit aduk . Untuk orang-orang di sini , yang memerintah negara itu memiliki sedikit pengaruh pada apa yang keluar dari laut .

Tapi era panjang isolasi dapat segera berakhir , bahkan untuk desa ini bertengger di atas sebuah teluk berbusa . Seperti banyak tempat-tempat lain di negara berkembang , Lamalera menghadapi perambahan teknologi , perdagangan dan perubahan .

Selama berabad-abad , penduduk desa menggunakan lemak ikan paus sebagai mata uang . Banyak bahkan tidak tahu apa yang tampak seperti uang . Sekarang ada uang tunai di pasar , membingungkan beberapa wanita yang lebih tua yang tidak bisa membaca angka.

Lamalera juga telah ditemukan oleh pekerja bantuan , antropolog dan wisatawan . Beberapa nelayan telah menutup telepon tombak mereka untuk membuka rumah tamu kecil . Lainnya ingin meninggalkan .

" Dulu bahwa setiap orang akan ingin mengikuti paus , " kata Peter Kroya , seorang buruh 25 tahun dengan satu-satunya ekor kuda di desa . "Tapi bukan aku . Aku ingin tinggal di kota . "
Lamalera dan 2.000 orang yang sekitar sebagai jauh dari kota seperti yang Anda dapatkan . Tidak ada mobil , jalan , telepon , listrik atau TV . Terletak di ujung Pulau Lembata , 1.000 km sebelah timur dari Jakarta , ibukota Indonesia , Lamalera adalah salah satu tempat kapsul waktu tersisa untuk irama hati sendiri .

Saat fajar pada hari terakhir, krisis perahu kayu yang berat menggores melalui pasir memotong udara tropis lembab . Lima sampai sisi , nelayan tenggelam bahu mereka di bawah gunwales dan melaju perahu 30 - kaki menyusuri pantai seperti bobsleds . Beberapa istri , hati untuk tidak secara terbuka mengungkapkan terlalu banyak kasih sayang , meremas tangan suami mereka sebelum mereka mendayung pergi .
Tradisi berbahaya ditarik dari laut di Indonesia. Sebuah desa terpencil yang masih melegalkan perburuan paus. Telah sedikit berubah dalam 500 tahun semenjak adanya wisatwan dan teknologi yang merayap masuk.

29 Agustus 1999|JEFERY GENTELMAN| STAF PENULIS MAJALAH TIMES

LAMALERA, Indonesia- Disebrang laut yang menyilaukan terlihat perahu kayu yang terhuyung-huyung, awaknya merupakan nelayan tua keriput yang kulithnya seperti dendeng yang terbakar sinar matahari hampir satu dekade  akibat bekerja.
Hari ini, seperti hari-hari sebelumya, Orang-orang ini sedang berburu paus dengan cara yang sama seperti nenek moyangnya 500 tahun lalu.


Dengan dayung yang terbuat dari batang pohon kelapa dan wajah menyernit sambil menyipitkan mata, para nelayan dengan mata jelinya membelah melintasi air, melihat tanda-tanda kehidupan. Setelah berjam-jam mencari, seorang nelayan berotot, Francis Bole Beding, melihat sirip hitam melalui permukaan.

“Di sana! Di sana ! “ Beding berteriak, jarinya terlihat gemetar. “  Di sana ! Di sana !”

Para pendayung menyentakan dayung mereka, Beding sang penombak berlari kehaluan dengan tombak sederhana di tangan nya. Dia bersiap melompat untuk menombak mangsanya dan mengarahkan tombaknya untuk menusuk ke dalam tubuh mangsanya.
Berfokus pada mangsa, tidak ada siasat
Di desa terpencil di Indonesia ini, hidup bagaikan mengejar pertandingan besar. Salah satu tempat terakhir di bumi dimana hukum internasionalnya masih membolehkan warganya untuk berburu paus untuk makanan, Lamalera adalah desa yang begitu mendalami tradisi nenek moyangnya untuk menagkap paus telah  lolos dari sapuan kekacauan masa transisi pemerintah otoriter ke multi partai  demokrasi.


Bagi orang disini pemilihan bebas pertama yang di menangkan oleh partai-parta oposisi hanya menciptakan sedikit pengaruh bagi mereka yang hanya mengandalkan hasil dari apa yang di laut .


Namun era panajang terisolasi akan segera berakhir, bahkan untuk desa yang berada di atas teluk berbusa. Seperti banyak tempat lainya di negara berkembang, Lamalera menghadapi ganguan dari teknologi, perdagangan, dan berubahan.

Selama berabad-abad, penduduk desa menggunakan lemak ikan paus sebagi mata uang. Banyak yang bahkan tidak tahu seperti apa bentuk uang. Sekarang sudah ada uang tunai di pasar yang membingungkan para wanita yang lebih tua yang tidak bisa membaca angka.

Lamalera juga telah didatangi oleh para relawan, atropolog dan wisatawan. Beberapa nelayan sudah tidak menggunkan tombak mereka lagi dan memilih membuka rumah peristirahatan untuk para wisatawan dan sebagian nelayan lain nya pergi.
“Dahulu setiap orang akan pergi mengikuti paus,” kata Peter Kroya satu-satunya  buruh 25 yang memilki kuda poni didesa. “Aku tidak seperti mereka. Aku ingin tinggal di kota.”
Lamalera dan 2.000 warganya tinggal jauh dari kota seperti yang kita lihat. Tidak ada mobil, jalan, telepon, listrik atau TV. Lamalera trletak di ujung pulau Lembata 1.000 km dari timur Jakarta yang merupakan ibu kota indonesia, Lamalera merupakan sebuah mesin waktu yang masih mempertahankan adat istiadatnya.

Saat fajar datang, terdengar suara goresan perahu kayu yang berat menggores pasir memotong udara tropis yang lembab. Lima nelayan menggotong perahunya yang panjangya 30 kaki ke pantai seperti melakukan olahraga bobsled. Beberapa istri mereka, tidak secara terang-terangan menunjukan kasih sayangnya. Mereka  memijat tangan suaminya sebelum suaminya mendayung  pergi.





0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda