TUGAS 2 PENEJEMAHAN BERBANTUAN KOMPUTER
TUGAS
2
Name : Ayu Septiani
Npm : 19610233
Class : 4SA01
Source text
|
Google
|
Correction
|
Drawn to the Sea, to Tradition, to Danger :
Indonesia: Life in a remote village revolves around whaling, which is still
legal there. Little has changed in 500 years, but tourists and technology are
creeping in.
·
LAMALERA, Indonesia — Across the blinding seas the wooden boat lumbered,
its crew of old fishermen shriveled like beef jerky from decades of sun and
work.
Today, like all other days, these men were hunting whales--in the same
way their ancestors did 500 years ago.
With paddles chopped from the trunks of palm trees and faces scrunched
from squinting, the fishermen stroked across the water, scanning for signs of
life. After hours of searching, one sinewy fisherman, Francis Bole Beding,
saw a black fin pop through the surface.
"Di sana! Di sana!" Beding yelled, shaking his fingers at the
sea. "Over there! Over there!"
Paddlers yanked on their oars. Beding, a harpooner, scampered to the bow,
a crude spear in his hands. He coiled himself, preparing to leap down onto the
prey and drive his harpoon deep into its flesh.
Focusing on Prey, Not Politics
In this remote Indonesian village, life revolves around the pursuit of
big game. One of the last places on Earth where international law still
allows people to hunt whales for food, Lamalera is so steeped in its whaling
traditions that it has escaped the tumult sweeping through Indonesia as the
country caps its yearlong transition from authoritarian rule to multi-party
democracy.
Even Indonesia's first free elections, won by opposition parties, created
little stir. To people here, who rules the country has little bearing on what
comes out of the sea.
But the long era of isolation may be coming to an end, even for this
village perched above a frothy cove. Like many other places in the developing
world, Lamalera faces the encroachment of technology, commerce and change.
For centuries, villagers used whale blubber as currency. Many didn't even
know what money looked like. Now there's cash at the market, confusing some
of the older women who can't read numbers.
Lamalera also has been discovered by aid workers, anthropologists and
tourists. Some fishermen have hung up their harpoons to open small guest
houses. Others want to leave.
"It used to be that everyone would want to follow whales," said
Peter Kroya, a 25-year-old laborer with the only ponytail in the village.
"But not me. I want to live in the city."
Lamalera and its 2,000 people are about as far from a city as you can
get. There are no cars, roads, phones, electricity or TV. Located at the tip
of Lembata Island, 1,000 miles east of Jakarta, Indonesia's capital, Lamalera
is one of those time-capsule places left to its own gracious rhythms.
At dawn on a recent day, the crunch of heavy wooden boats scraping
through the sand cut the moist tropical air. Five to a side, fishermen sank
their shoulders under the gunwales and drove the 30-foot boats down the beach
like bobsleds. Some wives, mindful not to openly express too much affection,
squeezed their husbands' hands before they paddled away.
|
Ditarik ke Laut,
Tradisi, ke Bahaya: Indonesia: Hidup di sebuah desa terpencil berkisar
perburuan paus, yang masih legal di sana. Sedikit telah berubah dalam 500
tahun, tapi wisatawan dan teknologi yang merayap masuk.
29
Agustus 1999 |JEFERY GENTLEMAN | STAFF PENULIS
TIMES
LAMALERA , Indonesia
- seberang laut menyilaukan perahu kayu terhuyung-huyung , awak nelayan tua
keriput seperti dendeng dari dekade matahari dan bekerja .
Hari ini, seperti
semua hari-hari lain , orang-orang ini sedang berburu paus - dengan cara yang
sama nenek moyang mereka lakukan 500 tahun yang lalu .
Dengan dayung cincang
dari batang-batang pohon kelapa dan wajah mengernyitkan dari menyipitkan mata
, para nelayan membelai melintasi air , pemindaian tanda-tanda kehidupan .
Setelah berjam-jam mencari, seorang nelayan berotot , Francis Bole Beding ,
melihat pop sirip hitam melalui permukaan .
" Di sana ! Di
sana ! " Beding berteriak , gemetar jari-jarinya di laut . "Di sana
! Disana! "
Paddlers menyentakkan
dayung mereka . Beding , harpooner a , berlari ke haluan , tombak mentah di
tangannya . Dia bergelung , bersiap untuk melompat turun ke mangsa dan drive
harpun dalam-dalam ke dagingnya .
Berfokus pada Prey ,
Bukan Politik
Di desa ini terpencil
Indonesia , kehidupan berkisar mengejar pertandingan besar . Salah satu
tempat terakhir di bumi di mana hukum internasional masih memungkinkan orang
untuk berburu paus untuk makanan , Lamalera begitu mendalami tradisi
penangkapan ikan paus yang yang telah lolos kekacauan menyapu Indonesia
sebagai negara caps transisi selama setahun dari pemerintahan otoriter ke
multi partai demokrasi .
Bahkan pemilihan
bebas pertama di Indonesia , dimenangkan oleh partai-partai oposisi ,
menciptakan sedikit aduk . Untuk orang-orang di sini , yang memerintah negara
itu memiliki sedikit pengaruh pada apa yang keluar dari laut .
Tapi era panjang
isolasi dapat segera berakhir , bahkan untuk desa ini bertengger di atas
sebuah teluk berbusa . Seperti banyak tempat-tempat lain di negara berkembang
, Lamalera menghadapi perambahan teknologi , perdagangan dan perubahan .
Selama berabad-abad ,
penduduk desa menggunakan lemak ikan paus sebagai mata uang . Banyak bahkan
tidak tahu apa yang tampak seperti uang . Sekarang ada uang tunai di pasar ,
membingungkan beberapa wanita yang lebih tua yang tidak bisa membaca angka.
Lamalera juga telah
ditemukan oleh pekerja bantuan , antropolog dan wisatawan . Beberapa nelayan
telah menutup telepon tombak mereka untuk membuka rumah tamu kecil . Lainnya
ingin meninggalkan .
" Dulu bahwa
setiap orang akan ingin mengikuti paus , " kata Peter Kroya , seorang
buruh 25 tahun dengan satu-satunya ekor kuda di desa . "Tapi bukan aku .
Aku ingin tinggal di kota . "
Lamalera dan 2.000
orang yang sekitar sebagai jauh dari kota seperti yang Anda dapatkan . Tidak
ada mobil , jalan , telepon , listrik atau TV . Terletak di ujung Pulau
Lembata , 1.000 km sebelah timur dari Jakarta , ibukota Indonesia , Lamalera
adalah salah satu tempat kapsul waktu tersisa untuk irama hati sendiri .
Saat fajar pada hari
terakhir, krisis perahu kayu yang berat menggores melalui pasir memotong
udara tropis lembab . Lima sampai sisi , nelayan tenggelam bahu mereka di
bawah gunwales dan melaju perahu 30 - kaki menyusuri pantai seperti bobsleds
. Beberapa istri , hati untuk tidak secara terbuka mengungkapkan terlalu
banyak kasih sayang , meremas tangan suami mereka sebelum mereka mendayung
pergi .
|
Tradisi berbahaya ditarik
dari laut di Indonesia. Sebuah desa terpencil yang masih melegalkan perburuan
paus. Telah sedikit berubah dalam 500 tahun semenjak adanya wisatwan dan
teknologi yang merayap masuk.
29
Agustus 1999|JEFERY GENTELMAN| STAF PENULIS MAJALAH
TIMES
LAMALERA, Indonesia-
Disebrang laut yang menyilaukan terlihat perahu kayu yang terhuyung-huyung,
awaknya merupakan nelayan tua keriput yang kulithnya seperti dendeng yang terbakar
sinar matahari hampir satu dekade akibat bekerja.
Hari ini, seperti
hari-hari sebelumya, Orang-orang ini sedang berburu paus dengan cara yang
sama seperti nenek moyangnya 500 tahun lalu.
Dengan dayung yang
terbuat dari batang pohon kelapa dan wajah menyernit sambil menyipitkan mata,
para nelayan dengan mata jelinya membelah melintasi air, melihat tanda-tanda
kehidupan. Setelah berjam-jam mencari, seorang nelayan berotot, Francis Bole
Beding, melihat sirip hitam melalui permukaan.
“Di sana! Di sana ! “
Beding berteriak, jarinya terlihat gemetar. “
Di sana ! Di sana !”
Para pendayung
menyentakan dayung mereka, Beding sang penombak berlari kehaluan dengan
tombak sederhana di tangan nya. Dia bersiap melompat untuk menombak mangsanya
dan mengarahkan tombaknya untuk menusuk ke dalam tubuh mangsanya.
Berfokus pada mangsa,
tidak ada siasat
Di desa terpencil di
Indonesia ini, hidup bagaikan mengejar pertandingan besar. Salah satu tempat
terakhir di bumi dimana hukum internasionalnya masih membolehkan warganya
untuk berburu paus untuk makanan, Lamalera adalah desa yang begitu mendalami
tradisi nenek moyangnya untuk menagkap paus telah lolos dari sapuan kekacauan masa transisi
pemerintah otoriter ke multi partai demokrasi.
Bagi orang disini pemilihan
bebas pertama yang di menangkan oleh partai-parta oposisi hanya menciptakan
sedikit pengaruh bagi mereka yang hanya mengandalkan hasil dari apa yang di
laut .
Namun era panajang
terisolasi akan segera berakhir, bahkan untuk desa yang berada di atas teluk
berbusa. Seperti banyak tempat lainya di negara berkembang, Lamalera
menghadapi ganguan dari teknologi, perdagangan, dan berubahan.
Selama berabad-abad,
penduduk desa menggunakan lemak ikan paus sebagi mata uang. Banyak yang
bahkan tidak tahu seperti apa bentuk uang. Sekarang sudah ada uang tunai di
pasar yang membingungkan para wanita yang lebih tua yang tidak bisa membaca
angka.
Lamalera juga telah
didatangi oleh para relawan, atropolog dan wisatawan. Beberapa nelayan sudah
tidak menggunkan tombak mereka lagi dan memilih membuka rumah peristirahatan
untuk para wisatawan dan sebagian nelayan lain nya pergi.
“Dahulu setiap orang
akan pergi mengikuti paus,” kata Peter Kroya satu-satunya buruh 25 yang memilki kuda poni didesa. “Aku
tidak seperti mereka. Aku ingin tinggal di kota.”
Lamalera dan 2.000
warganya tinggal jauh dari kota seperti yang kita lihat. Tidak ada mobil,
jalan, telepon, listrik atau TV. Lamalera trletak di ujung pulau Lembata 1.000
km dari timur Jakarta yang merupakan ibu kota indonesia, Lamalera merupakan
sebuah mesin waktu yang masih mempertahankan adat istiadatnya.
Saat fajar datang, terdengar
suara goresan perahu kayu yang berat menggores pasir memotong udara tropis
yang lembab. Lima nelayan menggotong perahunya yang panjangya 30 kaki ke
pantai seperti melakukan olahraga bobsled. Beberapa istri mereka, tidak secara
terang-terangan menunjukan kasih sayangnya. Mereka memijat tangan suaminya sebelum suaminya mendayung pergi.
|